A. Perkembangan
Hak Asasi Manusia
Wacana hak asasi
manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan ketatanegaraan
di Indonesia. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam perjalanan sejarah
pembentukkan bangsa ini, di mana perbincangan mengenai hak asasi manusia
menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis bangsa ini
telah memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan harkat dan martabat
manusia yang lebih baik. Pecikan pikiran tersebut dapat dibaca dalam
surat-surat R.A.Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”,
karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim,
Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di
Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” dan
Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan
pengadilan Hindia Belanda. Percikan-percikan pemikiran pada masa pergerakan
kemerdekaan itu, yang terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia, menjadi
sumber inspirasi ketika konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sinilah terlihat bahwa
para pendiri bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai fondasi
bagi negara.
Kali ini
berusaha menelusuri perkembangan wacana hak asasi manusia dalam diskursus
politik dan ketatanegaraan di Indonesia, paling tidak dalam kurun waktu setelah
kemerdekaan. Diskursus mengenai hak asasi manusia ditandai dengan perdebatan
yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai
dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak asasi manusia, diikuti
dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde
Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan
hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara
berlangsung dengan sangat serius. Tetapi sayang sekali, pada periode-periode
emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum dasar
negara atau konstitusi.
Perjuangan itu
memerlukan waktu lama untuk berhasil, yaitu sampai datangnya periode reformasi
(tahun 1998-2000). Periode ini diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi
Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Inilah periode yang sangat “friendly”
terhadap hak asasi manusia, ditandai dengan diterimanya hak asasi manusia ke
dalam konstitusi dan lahirnya peraturan perundang-undangan di bidang hak asasi
manusia.
(1) Perdebatan
Awal tentang Hak Asasi Manusia
Sesuai dengan
pembabakan di atas, pemaparan berikut akan dimulai dengan pembahasan periode
pertama. Pada waktu menyusun konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, terjadi
perdebatan mengenai apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar? Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak
warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi.
Sebaliknya,
Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal
mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan
lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam
sidang-sidang BPUPKI tersebut merupakan tonggak penting dalam diskursus hak
asasi manusia di Indonesia, yang memberi pijakan bagi perkembangan wacana hak
asasi manusia periode-periode selanjutnya.
Karena itu,
menarik apabila kita menyimak sedikit perdebatan tersebut. Mengapa Soekarno dan
Supomo menolak pencantuman pasal-pasal hak warga negara dalam Konstitusi
Indonesia? Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan
mereka mengenai dasar negara --yang dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische
grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut “Staatsidee”-- yang
tidak berlandaskan pada faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan
Soekarno, jaminan perlindungan hak warga negara itu --yang berasal dari
revolusi Prancis, merupakan basis dari faham liberalisme dan individualisme
yang telah menyebabkan lahirnya imperialisme dan peperangan antara manusia
dengan manusia. Soekarno menginginkan negara yang mau didirikan itu didasarkan
pada asas kekeluargaan atau gotong-royong, dan karena itu tidak perlu dijamin
hak warga negara di dalamnya.
Kutipan di bawah
ini akan menunjukkan argumen Soekarno yang menolak mencantumkan hak-hak warga
negara:
“... saya minta
dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali faham
individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam Undang- Undang Dasar kita yang
dinamakan “rights of the citizens” yang sebagai dianjurkan oleh Republik
Prancis itu adanya”.
“... Buat apa
kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak
dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang
berisi “droits de I’ homme et du citoyen” itu, tidak bisa menghilangkan
kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena
itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada
paham
kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial,
enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme
dari padanya”.
Sedangkan Supomo
menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar
dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo didasarkan pada pandangannya
mengenai ide negara integralistik (staatsidee integralistik), yang
menurutnya cocok dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia.
Menurut faham
tersebut negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh
golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam negara yang demikian itu,
tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan susunan hukum
individu, karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari Staat.
Makanya hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik,
yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara. Paham inilah yang
mendasari argumen Supomo.
Sebaliknya,
mengapa Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak warga negara
dalam pasal-pasal Konstitusi? Hatta setuju dengan penolakan terhadap
liberalisme dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk
memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara
yang ingin didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme.
Berikut argumen
Hatta:
“Tetapi satu hal
yang saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan
kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya untuk mengeluarkan suara,
saya kuatir menghianati di atas Undang- Undang Dasar yang kita susun sekarang
ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita setujui”.
“Sebab itu ada
baiknya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara disebutkan
di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-tiap warga negara
rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara itu jangan takut mengeluarkan
suaranya. Yang perlu disebut disini hak buat berkumpul dan bersidang atau
menyurat dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya negara kita
tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita dasarkan negara kita kepada
kedaulatan rakyat”.
Begitu juga
dengan Yamin. Sarjana hukum lulusan Belanda itu menolak dengan keras argumen-argumen
yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam Undang-Undang Dasar.
“Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar
seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak
memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan
semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam
Undang-undang Dasar,” Yamin mengucapkan pidatonya pada sidang BPUPKI. Pendapat
kedua pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian,
yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid
van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan). Mereka
sangat menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang mereka lihat terjadi
di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara yang mau didirikan
itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara.
Percikan
perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi. Hak warga
negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk
dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu
bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh
undangundang, tetapi juga dalam arti konseptual.
Konsep yang
digunakan adalah “Hak Warga Negara” (“rights of the citizens”) bukan
“Hak Asasi Manusia” (human rights). Penggunaan konsep “Hak Warga Negara”
itu berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham natural rights yang
menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena
ia lahir sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara
ditempatkan sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian of
human rights” –sebagaimana ditempatkan oleh sistem Perlindungan
Internasional Hak Asasi Manusia.
Perdebatan
tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai hak asasi manusia
muncul kembali --sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan dalam Undang- Undang
Dasar 1945 pada sidang Konstituante (1957-1959). Sebagaimana terrekam dalam
Risalah Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia, perdebatan di
sini jauh lebih sengit dibanding dengan perdebatan di BPUPKI. “Diskusi ini
merupakan pernyataan paling jelas, paling bebas dan paling baik mengenai
kesadaran tentang hak asasi manusia di kalangan rakyat Indonesia,” rekam Buyung
Nasution yang melakukan studi mendalam tentang periode ini. Berbeda dengan
perdebatan awal di BPUPKI, diskusi di Konstituante relatif lebih menerima hak
asasi manusia dalam pengertian natural rights, dan menganggapnya sebagai
substansi Undang-Undang Dasar.
Meskipun ada
yang melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di Konstituante
sebetulnya telah berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan disusun
dalam satu bab pada konstitusi. Sayang, Konstituante dibubarkan oleh Soekarno,
akibatnya kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam Konstituante ikut
dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai hak asasi manusia.
Pembubaran
Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno mengeluarkan dekrit yang
isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian
dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959”. Dengan kembali ke Undang- Undang Dasar
1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam
Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali.
Makanya setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan
mahasiswa 1966, yang melahirkan rezim Orde Baru, perdebatan mengenai
perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia muncul kembali. Perdebatan
itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu
telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia. Hasilnya
adalah sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia
dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang sekali rancangan tersebut
tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan
MPRS. Alasannya --terutama diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI,
akan lebih tepat jika Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu,
bukan oleh MPR(S) yang bersifat “sementara”.
Kenyataannya,
setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia
itu tidak pernah diajukan lagi. Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi ABRI tidak
pernah mengingat lagi apa yang pernah mereka putuskan pada Sidang Umum MPRS
tahun 1968 tersebut. Sampai akhirnya datang gelombang besar “Reformasi”, yang
melengserkan Soeharto dari kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998) dan membuka
babak baru wacana hak asasi manusia di Indonesia.
(2) Hak Asasi
Manusia dalam Konstitusi Baru
Presiden BJ.
Habibie yang ditunjuk Soeharto sebagai penggantinya mengumumkan kabinetnya
sebagai “Kabinet Reformasi”. Presiden yang baru ini tidak punya pilihan lain
selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama
ini tertutup, menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi,
kolusi dan nepotisme, menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan
narapidana politik, dan sebagainya. Perhatian pokok buku ini adalah yang
berkaitan dengan wacana hak asasi manusia pada periode reformasi.
Pada periode
reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas
perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soal-soal konseptual
berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya,
apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD? Gagasan mengenai
Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul
kembali. Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi
manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi
ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak
Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga
tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk
mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi
manusia.
Hasil Pemilu
1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik pro-reformasi
mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil
mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil
menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan
MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke
dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan
Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10
Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang
Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di
dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak
ekonomi, sosial
dan budaya.
Selain itu, dalam tulisan ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab
negara terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan
dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Salah satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam
proses amandemen itu adalah masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan
undang-undang yang berlaku surut (non-retroactivity principle) yakni
pasal 28I. Masuknya ketentuan ini dipandang oleh kalangan aktifis hak asasi
manusia dan aktifis pro-reformasi yang tergabung dalam Koalisi untuk Konstitusi
Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya mengungkapkan pelanggaran berat hak
asasi manusia di masa lalu, khsususnya di masa Orde Baru.
Alasannya pasal
itu dapat digunakan oleh para pelaku pelanggaran hak asasi di masa lalu untuk
menghindari tuntutan hukum. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen
Kedua menjadi senjata yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran hak asasi
manusia di masa lalu. Sementara anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan
bahwa adanya pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional hak asasi manusia,
khususnya dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP).
Selain itu, menurut anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 28I itu harus
dibaca pula dalam kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2).
Terlepas dari
kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia
merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca
Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini
dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di dalam
Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun
1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa
reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia
dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa
menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam
budaya Indonesia.
(3)
Undang-Undang Hak Asasi Manusia
Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, periode reformasi merupakan periode yang sangat “friendly”
terhadap hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde Baru yang
melancarkan “black-campaign” terhadap isu hak asasi manusia.
Presiden B.J.
Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses
amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan
Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas.
Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan
pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang
tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas
terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai
dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan
dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang
mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati
yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya
tampak merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, seperti
Universal Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil
and Political Rights, International Covenan on Economic, Social
and Cultural Rights, International Convention on the Rights of Child,
dan seterusnya. Dengan demikian boleh dikatakan Undang-Undang ini telah
mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam berbagai instrumen hak asasi
manusia internasional tersebut. Di samping memuat norma-norma hak,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan
mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99
mengatur tentang kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jadi kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka
setelah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat
dengan Undang-Undang. Hal yang menarik dalam Undang-Undang ini adalah adanya
aturan tentang partisipasi masyarakat, mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103.
Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak
asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi
manusia atau “human rights defenders”. Selain itu, Undang-Undang
ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang harus
dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya
Undang-Undang tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua tentang
Hak Asasi Manusia? Apakah tetap berlaku atau tidak? Kaidah “ketentuan yang baru
menghapus ketentuan yang lama” jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah
tersebut hanya berlaku untuk norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua
ketentuan tersebut tidak setingkat, dan sejalan dengan “stuffenbau theorie
des rechts” (hierarchy of norm theory), norma konstitusi lebih
tinggi daripada undang-undang. Maka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap
berlaku dan dapat dipandang sebagai ketentuan organik dari ketentuan hak asasi
manusia yang terdapat pada amandemen kedua.
B. Ratifikasi
Perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia
Pembahasan
selanjutnya terkait dengan penerapan instrumen internasional hak asasi manusia
ke dalam hukum nasional. Perbincangan mengenai isu ini biasanya diletakkan
dalam konteks dua ajaran berikut, yakni ajaran dualis (dualistic school)
dan ajaran monis (monistic school). Ajaran yang pertama melihat hukum
internasional dan nasional sebagai dua sistem hukum yang terpisah dan berdiri
sendiri-sendiri. Sedangkan ajaran yang kedua melihat hukum internasional dan
nasional sebagai bagian integral dari sistem yang sama. Meskipun kedua ajaran
tersebut dalam prakteknya tumpang tindih, biasanya negara yang dirujuk menganut
ajaran monis adalah Inggris dan Amerika Serikat. Tetapi hanya Amerika Serikat
yang menyatakan dengan gamblang dalam konstitusinya bahwa “all treaties made
or which shall be made, under the Authority of the United States, shall
be the supreme Law of the Land; and the judges in every State shall be
bound thereby”. Inilah bedanya dengan Indonesia, yang boleh dikatakan lebih
dekat dengan ajaran yang pertama. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 11 ayat
(2) Undang Undang Dasar 1945. Sebagai bagian dari masyarakat internasional,
Indonesia juga tidak bisa menafikan hukum internasional, tetapi penerapannya
harus sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia. Seperti dikatakan di atas, Pasal
11 ayat (2) Undang-Undang Dasar mensyaratkan dalam proses pemberlakuan hukum
internasional ke dalam hukum nasional terlebih dahulu mengambil langkah
transformasi melalui proses perundangundangan domestik. Proses ini dikenal
dengan ratifikasi atau aksesi. Jadi meskipun Indonesia telah memiliki basis
hukum perlindungan hak asasi manusia yang kuat di dalam negeri seperti
dipaparkan di muka, tetap dipandang perlu untuk mengikatkan diri dengan sistem
perlindungan internasional hak asasi manusia. Sebab dengan pengikatan itu,
selain menjadikan hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasional (supreme
law of the land), juga memberikan landasan legal kepada warga negaranya
untuk menggunakan mekanisme perlindungan hak asasi manusia internasional,
apabila ia (warga negara) merasa mekanisme domestik telah mengalami “exshausted”
alias menthok. Sampai saat ini Indonesia baru meratifikasi 8 (delapan)
instrumen internasional hak asasi manusia dari 25 (dua puluh lima) instrumen
internasional pokok hak asasi manusia. Delapan instrumen internasional hak
asasi manusia yang diratifikasi itu meliputi: (i) Konvensi Internasional
tentang Hak-Hak Politik Perempuan; (ii) Konvensi Internasional tentang Hak
Anak; (iii) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan; (iv) Konvensi Internasional tentang Anti
Apartheid di Bidang Olah Raga; (v) Konvensi Internasional tentang (Anti?)
Menentang Penyiksaan; (vi) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial; (vii) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik; dan (viii) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya.
Dibanding dengan
jumlah instrumen internasional pokok hak asasi manusia, maka sebetulnya tingkat
ratifikasi Indonesia masih rendah. Sebagai perbandingan, Filipina, misalnya,
telah meratifikasi 18 (delapan belas) konvensi internasional hak asasi manusia.
Sejak tahun
1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)
untuk mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi tersebut. Dengan adanya
RANHAM, diharapkan proses ratifikasi dapat berjalan dengan terencana. Melalui
RANHAM ini, yang periode lima tahun pertamanya dimulai pada 1998-2003, telah
disusun skala prioritas untuk melakukan ratifikasi terhadap instrumeninstrumen
hak asasi manusia internasional. Sedangkan pada RANHAM lima tahun kedua
(2004-2009), rencana ratifikasi diprioritaskan pada konvensi-konvensi berikut
ini: (i) Konvensi untuk Penindasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi
Orang Lain (pada 2004); (ii) Konvensi tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan
Keluarganya (pada 2005); (iii) Protokol Opsional tentang Hak Anak tentang
Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (pada 2005); (iv)
Protokol Opsional tentang Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam
Konflik Bersenjata (pada 2006); (v) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan Genosida (pada 2007); Statuta Roma (pada 2008); dan seterusnya. Kalau
rencana aksi ini berjalan, maka pada 2009 Indonesia dapat mensejajarkan diri
dengan negara-negara lain yang tingkat ratifikasinya tinggi.
Contoh Kasus
Pelanggaran HAM di Indonesia
ð Kasus yang sudah diajukan ke sidang pengadilan ;
No | Nama Kasus | Tahun | Korban |
Peristiwa | Penyelesaian
1. Peristiwa
TanjungPriok | 1984 | 74 | Penyerangan terhadap massa yangberunjuk rasa | Pengadilan
HAM ad hocJakarta tahun 2003-2004.
2.
Penculikan Aktivis | 19981984-1998 | 23
| Penghilangan secara paksa oleh Militer terhadap para aktivis pro-demokrasi | Pengadilan
Militer untuk anggota tim mawar.
3. Kasus 27
Juli | 1996 | 1.678 | Penyerbuan kantor PDI | Pengadilan Koneksitas 2002.
4.
Penembakan Mahasiswa Trisakti | 1998 | 31 | Penembakan aparat terhadap mahasiswa
yang sedang berunjuk rasa | Pengadilan Militer bagi pelaku lapangan.
5. Kerusuhan
Timor-Timur Pasca Jajak Pendapat | 1999 | 97 | Agresi Militer | Pengadilan HAM
ad HocJakarta tahun 2002-2003.
6. Peristiwa
Abepura, Papua | 2000 | 63 | Penyisiran membabi buta terhadap pelaku yang
diduga menyerang Mapolsek Abepura | Pengadilan HAM di Makasar.
ð Kasus yang belum tersentuh proses hukum ;
No Nama Kasus | Tahun | Korban | Peristiwa
1.
Pembantaian massal 1965 | 1965-1970 | 1.5 jt | Korban sebagian besar adalah
anggota PKI atau ormas yang berafiliasidengan PKI, sebagian besar dilakukan di
luar proses hukum yang sah.
2. Kasus-kasus
di Papua | 1966 | Ribuan | Operasi instensif dilakukan TNI untuk menghadapi
OPM. Sebagian lagi berkaitan dengan masalah penguasaan sumber daya alam
antaraperusahaan tambang internasional, aparat pemerintah menghadapi penduduk
lokal.
3. Kasus
Timor-Timur Pasca Referendum | 1974-1999 | Ratusan Ribu | Dimulai dari agresi
militer TNI (Operasi Seroja) terhadap pemerintahan Fretelin yang sah di
Timor-Timur. Sejak saat itu Timor-Timur selalu menjadi daerah operasi militer
rutin yang rawan terhadap tindak kekerasan aparat RI.
4. Kasus-kasus
di Aceh pra DOM | 1976-1989 | Ribuan | Semenjak dideklarasikannya GAM Hasan Di
Tiro, Aceh selalumenjadi daerah operasi militer dengan intensitas kekrasan yang
tinggi.
5.
Penembakan Misterius (Petrus) | 1982-1985 | 1.678 | Korban sebagian besar tokoh
criminal, residivis, atau mantancriminal. Operasi ini bersifat illegal dan
dilakukan tanpa identitasinstitusi yang jelas.
6. Kasus
Marsinah | 1995 | 1 | Pelaku utamanya tidak tersentuh, sementara orang lain
dijadikan kambing hitam. Bukti keterlibatan militer dibidang perburuhan.
7. Kasus
dukun santet di Banyuwangi | 1998 | Puluhan | Adanya pembantaian terhadap tokoh
masyarakat yang dianggap dan dituduh dukun santet.
8. Kasus
Bulukumba | 2003 | 2 tewas,puluhanluka-luka | Insiden ini terjadi karena
keinginan PT. London Sumatera untuk melakukan perluasan area perkebunan mereka,
namun masyarakat menolak upaya tersebut.